Guru dan Kompetensi Sosial
Keberhasilan pembelajaran kepada peserta didik sangat ditentukan oleh guru, karena guru adalah pemimpin pembelajaran, fasilitator, dan sekaligus merupakan pusat inisiatif pembelajaran. Itulah sebabnya, guru harus senantiasa mengembangkan kemampuan dirinya. Guru perlu memiliki standar profesi dengan menguasai materi serta strategi pembelajaran dan dapat mendorong siswanya untuk belajar bersungguh-sungguh.
Selain standar profesi, guru perlu memiliki standar sebagai berikut:
1. Standar intelektual: guru harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan profesional.
2. Standar fisik: guru harus sehat jasmani, berbadan sehat, dan tidak memiliki penyakit menular yang membahayakan diri, peserta didik dan lingkungannya.
3. Standar psikis: guru harus sehat rohani, artinya tidak mengalami gangguan jiwa ataupun kelainan yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas profesionalnya.
4. Standar mental: guru harus memiliki mental yang sehat, mencintai, mengabdi, dan memiliki dedikasi yang tinggi pada tugas dan jabatannya.
5. Standar moral: guru harus memiliki budi pekerti luhur dan sikap moral yang tinggi.
6. Standar sosial: guru harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat lingkungannya.
7. Standar spiritual: guru harus beriman kepada Allah yang diwujudkan dalam ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk dapat memperoleh hasil yang baik dalam suatu rangkaian kegiatan pendidikan dan pembelajaran, seorang guru dituntut untuk memiliki kualifikasi tertentu yang disebut juga kompetensi. Yang dimaksud dengan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Berarti kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan; kompetensi guru menunjuk kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas pendidikan.
Kompetensi bagi guru untuk tujuan pendidikan secara umum berkaitan dengan empat aspek, yaitu kompetensi: a) paedagogik, b) profesional, c) kepribadian, d) sosial. Kompetensi ini bukanlah suatu titik akhir dari suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang hayat (lifelong learning process).
Kompetensi paedagogik dan profesional meliputi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan, serta kemahiran untuk melaksanakannya dalam proses belajar mengajar. Kompetensi ini dapat ditumbuhkan dan ditingkatkan melalui proses pendidikan akademik dan profesi suatu lembaga pendidikan. Namun, kompetensi kepribadian dan sosial, yang meliputi etika, moral, pengabdian, kemampuan sosial, dan spiritual merupakan kristalisasi pengalaman dan pergaulan seorang guru, yang terbentuk dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah tempat melaksanakan tugas.
Pengembangan kompetensi kepribadian (personal) dan sosial ini sulit dilakukan oleh lembaga resmi karena kualitas kompetensi ini ditempa serta dipengaruhi oleh kondisi dan situasi masyarakat luas, lingkungan dan pergaulan hidup termasuk pengalaman dalam tugas. Padahal, berbagai lingkungan tersebut seringkali merupakan “tempat yang bermasalah dan berpenyakit masyarakat”, seperti hedonis, KKN, materialistis, pragmatis, jalan pintas, kecurangan, dan persaingan yang tidak sehat. Dalam lingkungan yang demikian, nilai-nilai yang telah diperoleh di lembaga pendidikan, dan telah membentuk karakter peserta didik “yang baik” bisa luntur setelah berinteraksi dengan masyarakat. Siaran televisi misalnya, sangat kuat pengaruhnya pada budaya dan gaya hidup anak-anak, remaja dan pemuda. Contoh konkritnya, program “Smack Down” yang telah memakan banyak korban, bahkan korbannya adalah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah sekolah dasar.
Dengan demikian guru tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia, dan masyarakat.
B. KOMPETENSI SOSIAL SEORANG GURU
Ada empat pilar pendidikan yang akan membuat manusia semakin maju:
1. Learning to know (belajar untuk mengetahui), artinya belajar itu harus dapat memahami apa yang dipelajari bukan hanya dihafalkan tetapi harus ada pengertian yang dalam.
2. Learning to do (belajar, berbuat/melakukan), setelah kita memahami dan mengerti dengan benar apa yang kita pelajari lalu kita melakukannya.
3. Learning to be (belajar menjadi seseorang). Kita harus mengetahui diri kita sendiri, siapa kita sebenarnya? Untuk apa kita hidup? Dengan demikian kita akan bisa mengendalikan diri dan memiliki kepribadian untuk mau dibentuk lebih baik lagi dan maju dalam bidang pengetahuan.
4. Learning to live together (belajar hidup bersama). Sejak Tuhan Allah menciptakan manusia, harus disadari bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi saling membutuhkan seorang dengan yang lainnya, harus ada penolong. Karena itu manusia harus hidup bersama, saling membantu, saling menguatkan, saling menasehati dan saling mengasihi, tentunya saling menghargai dan saling menghormati satu dengan yang lain.
Pada butir ke 4 di atas, tampaklah bahwa kompetensi sosial mutlak dimiliki seorang guru. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir d). Karena itu guru harus dapat berkomunikasi dengan baik secara lisan, tulisan, dan isyarat; menggunakan teknologi komunikasi dan informasi; bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik; bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Memang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, menguasai berbagai jenis bahan pembelajaran, menguasai teori dan praktek pendidikan, serta menguasai kurikulum dan metodologi pembelajaran. Namun sebagai anggota masyarakat, setiap guru harus pandai bergaul dengan masyarakat. Untuk itu, ia harus menguasai psikologi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia, memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan bekerjasama dalam kelompok, dan menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok.
Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan dan juga sebagai anggota masyarakat, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Guru harus bisa digugu dan ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal.
Sebagai pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak, pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.
Bila guru memiliki kompetensi sosial, maka hal ini akan diteladani oleh para murid. Sebab selain kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, peserta didik perlu diperkenalkan dengan kecerdasan sosial (social intelegence), agar mereka memiliki hati nurani, rasa perduli, empati dan simpati kepada sesama. Pribadi yang memiliki kecerdasan sosial ditandai adanya hubungan yang kuat dengan Allah, memberi manfaat kepada lingkungan, dan menghasilkan karya untuk membangun orang lain. Mereka santun dan peduli sesama, jujur dan bersih dalam berperilaku.
Sumber kecerdasan adalah intelektual sebagai pengolah pengetahuan antara hati dan akal manusia. Dari akal muncul kecerdasan intelektual dan kecerdasan bertindak yang memandu kecerdasan bicara dan kerja. Sedangkan dari hati muncul kecerdasan spiritual, emosional dan sosial.
Sosial inteligensi membentuk manusia yang setia pada kebersamaan. Apabila ada satu warganya yang menderita merupakan penderitaan bersama. Sebaliknya apabila ada kebahagiaan menjadi/merupakan kebahagiaan seluruh masyarakat. Dalam tingkatan nasional, sosial intelegensi membimbing para pemimpin untuk selalu peka terhadap kesulitan rakyatnya dengan mengutamakan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Cara mengembangkan kecerdasan sosial di lingkungan sekolah antara lain: diskusi, hadap masalah, bermain peran, kunjungan langsung ke masyarakat dan lingkungan sosial yang beragam. Jika kegiatan dan metode pembelajaran tersebut dilakukan secara efektif maka akan dapat mengembangkan kecerdasan sosial bagi seluruh warga sekolah, sehingga mereka menjadi warga yang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat dan ikut memecahkan berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.
C. KOMPETENSI SOSIAL GURU KRISTEN
Guru Kristen perlu memahami pribadi Yesus sebagai guru yang harus diteladani-nya dalam hidup sehari-hari dan dalam pelaksanaan tugas keguruan. Howard G. Hendricks mengemukakan bahwa sedikitnya ada enam segi kehidupan Yesus yang senantiasa mengagumkan, yang perlu diteladani oleh seorang guru Kristen. (1) Dalam segi kepribadian, Yesus memperlihatkan kesesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ia pun menuntut kesesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ia pun menuntut kesesuaian itu terjadi dalam diri murid-murid-Nya. (2) Pengajaran-Nya sederhana, realistis, tidak mengambang. Ajaran-Nya selalu sederhana dalam arti menyinggung perkara-perkara hidup sehari-hari. 3) Ia sangat relasional, dalam arti mementingkan hubungan antar pribadi yang harmonis. 4) Isi berita-Nya bersumber dari Dia yang mengutus-Nya (Mat. 11:27; Yoh. 5:19). Selain tetap relevan bagi pendengar-Nya, ajaran Yesus bersifat otoritatif dan efektif (Mat. 7:28-29). 5) Motivasi kerja-Nya adalah kasih (Yoh. 1:14; Flp. 2:5-11). Ia menerima orang sebagaimana adanya, serta mendorong mereka untuk berserah kepada Allah. 6) Metode-Nya bervariasi, namun sangat kreatif. Ia bertanya dan bercerita. Ia melibatkan orang untuk memikirkan masalah yang diajukan. Selain itu, Ia mengenal orang yang dilayani-Nya, tingkat perkembangan serta kerohanian mereka.
Salah satu keteladanan Yesus seperti yang dikemukakan oleh Hendricks, ialah: Ia sangat relasional, mementingkan hubungan antar pribadi yang harmonis. Salah satu julukan Yesus adalah: sahabat orang berdosa (Mat. 11:19). Walaupun Yesus suci dan tidak pernah berdosa, Ia tidak mengisolir diri dan hanya bergaul dengan “komplotan suci”, tapi justru Ia menjalin relasi secara luas dengan banyak orang, untuk menjangkau sebanyak mungkin orang agar mereka menerima keselamatan kekal.
Tujuan hidup orang percaya adalah transformasi (perubahan) ke arah keserupaan dengan Kristus. Transformasi terjadi melalui dan dalam hubungan antar pribadi yang penuh dedikasi dan komitmen (transaksi sosial). Maksudnya, orang harus memberikan tekad untuk rela bersekutu dengan sesamanya, agar ia dapat menerima atau memberi pengaruh yang positif. Pengkomunikasian hidup secara efektif terjadi dalam konteks relasi antar pribadi yang baik. Relasi antar pribadi yang baik melancarkan komunikasi gagasan dan nilai. Kalau hubungan seorang guru sangat baik dengan atau berkenan bagi peserta didiknya, maka pengajarannya akan mendapat tanggapan sangat positif.
Dalam melaksanakan tugasnya untuk mendidik para murid yang dipercayakan kepadanya, seorang guru Kristen diharuskan mengenal muridnya, tidak hanya kemampuan akademisnya, akan tetapi mengenal nama, perilaku, emosi, latar belakang sosial dan budaya, keluarga, ketrampilan lain yang dimiliki murid, ataupun masalah yang dihadapi oleh murid sebagai individu atau sekelompok murid. Pengenalan murid secara baik oleh guru sesungguhnya akan membantu guru dalam membina muridnya secara individu, maupun secara kelompok. Jika guru mengenal murid secara baik untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada murid, maka murid merasa bahwa kepentingan atau kebutuhan mereka diperhatikan oleh guru.
Melihat betapa pentingnya lingkungan sosial dalam kehidupan, maka pendidikan kristiani dalam sekolah harus memikirkan bagaimana ia berfungsi sebagai rekan kerja keluarga dan rekan kerja gereja serta rekan kerja bangsa dalam membentuk serta membekali anak didik. Sekolah Kristen pada dasarnya merupakan wakil keluarga dan wakil gereja dalam memperlengkapi anak didik. Guru dan staf administrasi dengan begitu harus bertumbuh dalam sikap kebapaan atau keibuan sebagaimana yang diteladankan oleh rasul Paulus dalam pembinaan jemaat di Tesalonika. Sebagai ibu, para guru memelihara dan merawat anak didiknya dan sebagai bapa, mereka menasehati dengan bijak (I Tes. 1:7,11).
Terkait dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial, Allah sendiri membagun keluarga sebagai konteks sosial pertumbuhan anak (fungsi sosialisasi). Dia menciptakan umat, masyarakat dan bangsa untuk pertumbuhan individu dan kelompok. Dia pun menjadikan gereja sebagai wadah pertumbuhan individu dalam berbagai aspek. Komunitas dalam jemaat terpanggil untuk saling melengkapi, saling menasehati, saling mengajari (Kol. 3:15-16). Dinasehatkan pula oleh Alkitab agar orang percaya tidak menjauhi pertemuan-pertemuan dengan sesamanya demi pertumbuhan spiritualitasnya (Ibr. 10:24-25).
Dengan demikian seorang guru Kristen tidak boleh hanya membatasi hubungan dirinya hanya dalam kelas, ketika dia mengajar. Dia juga harus terlibat secara langsung dalam kehidupan berjemaat dalam sebuah gereja lokal. Dia juga harus menjadi bagian dari dinamika hidup yang relasional dalam tubuh Kristus yang semestinya diwarnai oleh kasih dan keakraban hubungan. Maksudnya, jika orang-orang yang berinteraksi dalam jemaat didorong oleh kasih yang tulus, mereka akan bersedia membina hubungan yang akrab. Dalam relasi demikian, banyak perkara iman dapat dipelajari. Dengan begitu, pendidikan Kristen harus memberi perhatian terhadap jemaat sebagai tubuh Kristus. Guru Kristen perlu terlibat dalam pelayanan jemaat. Ia dituntut untuk melibatkan diri dalam relasi antar pribadi. Sebagai pribadi ia terpanggil untuk terlibat dalam sharing, kunjungan jemaat, dan dalam pertemuan-pertemuan tertentu. Ia mengupayakan pembinaan orang-orang percaya yang selanjutnya dapat melaksanakan tugas pemuridan dengan kerelaan melayani sebagai hamba dan kesediaan memberi diri sebagai “model” atau teladan. Dengan demikian, pendidikan Kristen harus mengupayakan pemuridan lewat identifikasi, yakni saling mengamati gaya hidup sesama dalam artian positif, bukan hanya berupa pengajaran di kelas sekolah secara formal.
DAFTAR PUSTAKA:
Gangel, Kenneth O; Hendricks, Howard. The Christian Educator’s Handbook on Teaching, Victor Books, 1988. Sidjabat, B.S. Strategi Pendidikan Kristen. Yogyakarta: ANDI, 1994. ________. Menjadi Guru Profesional: Sebuah Persfektif Kristiani, Bandung : Kalam Hidup, 1994. Mulyasa, E. Standaar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Yamin, Martinis. Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia. Jakarta: Gaung Persada, 2006.dahMulmungkkoeratif
Sumber : http://www.stt-kharisma.org/index.php?option=com_content&view=article&id=19:kompetensi-sosial-guru&catid=5:artikel-pendidikan&Itemid=16
Selain standar profesi, guru perlu memiliki standar sebagai berikut:
1. Standar intelektual: guru harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan profesional.
2. Standar fisik: guru harus sehat jasmani, berbadan sehat, dan tidak memiliki penyakit menular yang membahayakan diri, peserta didik dan lingkungannya.
3. Standar psikis: guru harus sehat rohani, artinya tidak mengalami gangguan jiwa ataupun kelainan yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas profesionalnya.
4. Standar mental: guru harus memiliki mental yang sehat, mencintai, mengabdi, dan memiliki dedikasi yang tinggi pada tugas dan jabatannya.
5. Standar moral: guru harus memiliki budi pekerti luhur dan sikap moral yang tinggi.
6. Standar sosial: guru harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat lingkungannya.
7. Standar spiritual: guru harus beriman kepada Allah yang diwujudkan dalam ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk dapat memperoleh hasil yang baik dalam suatu rangkaian kegiatan pendidikan dan pembelajaran, seorang guru dituntut untuk memiliki kualifikasi tertentu yang disebut juga kompetensi. Yang dimaksud dengan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Berarti kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan; kompetensi guru menunjuk kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas pendidikan.
Kompetensi bagi guru untuk tujuan pendidikan secara umum berkaitan dengan empat aspek, yaitu kompetensi: a) paedagogik, b) profesional, c) kepribadian, d) sosial. Kompetensi ini bukanlah suatu titik akhir dari suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang hayat (lifelong learning process).
Kompetensi paedagogik dan profesional meliputi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan, serta kemahiran untuk melaksanakannya dalam proses belajar mengajar. Kompetensi ini dapat ditumbuhkan dan ditingkatkan melalui proses pendidikan akademik dan profesi suatu lembaga pendidikan. Namun, kompetensi kepribadian dan sosial, yang meliputi etika, moral, pengabdian, kemampuan sosial, dan spiritual merupakan kristalisasi pengalaman dan pergaulan seorang guru, yang terbentuk dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah tempat melaksanakan tugas.
Pengembangan kompetensi kepribadian (personal) dan sosial ini sulit dilakukan oleh lembaga resmi karena kualitas kompetensi ini ditempa serta dipengaruhi oleh kondisi dan situasi masyarakat luas, lingkungan dan pergaulan hidup termasuk pengalaman dalam tugas. Padahal, berbagai lingkungan tersebut seringkali merupakan “tempat yang bermasalah dan berpenyakit masyarakat”, seperti hedonis, KKN, materialistis, pragmatis, jalan pintas, kecurangan, dan persaingan yang tidak sehat. Dalam lingkungan yang demikian, nilai-nilai yang telah diperoleh di lembaga pendidikan, dan telah membentuk karakter peserta didik “yang baik” bisa luntur setelah berinteraksi dengan masyarakat. Siaran televisi misalnya, sangat kuat pengaruhnya pada budaya dan gaya hidup anak-anak, remaja dan pemuda. Contoh konkritnya, program “Smack Down” yang telah memakan banyak korban, bahkan korbannya adalah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah sekolah dasar.
Dengan demikian guru tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia, dan masyarakat.
B. KOMPETENSI SOSIAL SEORANG GURU
Ada empat pilar pendidikan yang akan membuat manusia semakin maju:
1. Learning to know (belajar untuk mengetahui), artinya belajar itu harus dapat memahami apa yang dipelajari bukan hanya dihafalkan tetapi harus ada pengertian yang dalam.
2. Learning to do (belajar, berbuat/melakukan), setelah kita memahami dan mengerti dengan benar apa yang kita pelajari lalu kita melakukannya.
3. Learning to be (belajar menjadi seseorang). Kita harus mengetahui diri kita sendiri, siapa kita sebenarnya? Untuk apa kita hidup? Dengan demikian kita akan bisa mengendalikan diri dan memiliki kepribadian untuk mau dibentuk lebih baik lagi dan maju dalam bidang pengetahuan.
4. Learning to live together (belajar hidup bersama). Sejak Tuhan Allah menciptakan manusia, harus disadari bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi saling membutuhkan seorang dengan yang lainnya, harus ada penolong. Karena itu manusia harus hidup bersama, saling membantu, saling menguatkan, saling menasehati dan saling mengasihi, tentunya saling menghargai dan saling menghormati satu dengan yang lain.
Pada butir ke 4 di atas, tampaklah bahwa kompetensi sosial mutlak dimiliki seorang guru. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir d). Karena itu guru harus dapat berkomunikasi dengan baik secara lisan, tulisan, dan isyarat; menggunakan teknologi komunikasi dan informasi; bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik; bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Memang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, menguasai berbagai jenis bahan pembelajaran, menguasai teori dan praktek pendidikan, serta menguasai kurikulum dan metodologi pembelajaran. Namun sebagai anggota masyarakat, setiap guru harus pandai bergaul dengan masyarakat. Untuk itu, ia harus menguasai psikologi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia, memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan bekerjasama dalam kelompok, dan menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok.
Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan dan juga sebagai anggota masyarakat, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Guru harus bisa digugu dan ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal.
Sebagai pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak, pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.
Bila guru memiliki kompetensi sosial, maka hal ini akan diteladani oleh para murid. Sebab selain kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, peserta didik perlu diperkenalkan dengan kecerdasan sosial (social intelegence), agar mereka memiliki hati nurani, rasa perduli, empati dan simpati kepada sesama. Pribadi yang memiliki kecerdasan sosial ditandai adanya hubungan yang kuat dengan Allah, memberi manfaat kepada lingkungan, dan menghasilkan karya untuk membangun orang lain. Mereka santun dan peduli sesama, jujur dan bersih dalam berperilaku.
Sumber kecerdasan adalah intelektual sebagai pengolah pengetahuan antara hati dan akal manusia. Dari akal muncul kecerdasan intelektual dan kecerdasan bertindak yang memandu kecerdasan bicara dan kerja. Sedangkan dari hati muncul kecerdasan spiritual, emosional dan sosial.
Sosial inteligensi membentuk manusia yang setia pada kebersamaan. Apabila ada satu warganya yang menderita merupakan penderitaan bersama. Sebaliknya apabila ada kebahagiaan menjadi/merupakan kebahagiaan seluruh masyarakat. Dalam tingkatan nasional, sosial intelegensi membimbing para pemimpin untuk selalu peka terhadap kesulitan rakyatnya dengan mengutamakan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Cara mengembangkan kecerdasan sosial di lingkungan sekolah antara lain: diskusi, hadap masalah, bermain peran, kunjungan langsung ke masyarakat dan lingkungan sosial yang beragam. Jika kegiatan dan metode pembelajaran tersebut dilakukan secara efektif maka akan dapat mengembangkan kecerdasan sosial bagi seluruh warga sekolah, sehingga mereka menjadi warga yang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat dan ikut memecahkan berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.
C. KOMPETENSI SOSIAL GURU KRISTEN
Guru Kristen perlu memahami pribadi Yesus sebagai guru yang harus diteladani-nya dalam hidup sehari-hari dan dalam pelaksanaan tugas keguruan. Howard G. Hendricks mengemukakan bahwa sedikitnya ada enam segi kehidupan Yesus yang senantiasa mengagumkan, yang perlu diteladani oleh seorang guru Kristen. (1) Dalam segi kepribadian, Yesus memperlihatkan kesesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ia pun menuntut kesesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ia pun menuntut kesesuaian itu terjadi dalam diri murid-murid-Nya. (2) Pengajaran-Nya sederhana, realistis, tidak mengambang. Ajaran-Nya selalu sederhana dalam arti menyinggung perkara-perkara hidup sehari-hari. 3) Ia sangat relasional, dalam arti mementingkan hubungan antar pribadi yang harmonis. 4) Isi berita-Nya bersumber dari Dia yang mengutus-Nya (Mat. 11:27; Yoh. 5:19). Selain tetap relevan bagi pendengar-Nya, ajaran Yesus bersifat otoritatif dan efektif (Mat. 7:28-29). 5) Motivasi kerja-Nya adalah kasih (Yoh. 1:14; Flp. 2:5-11). Ia menerima orang sebagaimana adanya, serta mendorong mereka untuk berserah kepada Allah. 6) Metode-Nya bervariasi, namun sangat kreatif. Ia bertanya dan bercerita. Ia melibatkan orang untuk memikirkan masalah yang diajukan. Selain itu, Ia mengenal orang yang dilayani-Nya, tingkat perkembangan serta kerohanian mereka.
Salah satu keteladanan Yesus seperti yang dikemukakan oleh Hendricks, ialah: Ia sangat relasional, mementingkan hubungan antar pribadi yang harmonis. Salah satu julukan Yesus adalah: sahabat orang berdosa (Mat. 11:19). Walaupun Yesus suci dan tidak pernah berdosa, Ia tidak mengisolir diri dan hanya bergaul dengan “komplotan suci”, tapi justru Ia menjalin relasi secara luas dengan banyak orang, untuk menjangkau sebanyak mungkin orang agar mereka menerima keselamatan kekal.
Tujuan hidup orang percaya adalah transformasi (perubahan) ke arah keserupaan dengan Kristus. Transformasi terjadi melalui dan dalam hubungan antar pribadi yang penuh dedikasi dan komitmen (transaksi sosial). Maksudnya, orang harus memberikan tekad untuk rela bersekutu dengan sesamanya, agar ia dapat menerima atau memberi pengaruh yang positif. Pengkomunikasian hidup secara efektif terjadi dalam konteks relasi antar pribadi yang baik. Relasi antar pribadi yang baik melancarkan komunikasi gagasan dan nilai. Kalau hubungan seorang guru sangat baik dengan atau berkenan bagi peserta didiknya, maka pengajarannya akan mendapat tanggapan sangat positif.
Dalam melaksanakan tugasnya untuk mendidik para murid yang dipercayakan kepadanya, seorang guru Kristen diharuskan mengenal muridnya, tidak hanya kemampuan akademisnya, akan tetapi mengenal nama, perilaku, emosi, latar belakang sosial dan budaya, keluarga, ketrampilan lain yang dimiliki murid, ataupun masalah yang dihadapi oleh murid sebagai individu atau sekelompok murid. Pengenalan murid secara baik oleh guru sesungguhnya akan membantu guru dalam membina muridnya secara individu, maupun secara kelompok. Jika guru mengenal murid secara baik untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada murid, maka murid merasa bahwa kepentingan atau kebutuhan mereka diperhatikan oleh guru.
Melihat betapa pentingnya lingkungan sosial dalam kehidupan, maka pendidikan kristiani dalam sekolah harus memikirkan bagaimana ia berfungsi sebagai rekan kerja keluarga dan rekan kerja gereja serta rekan kerja bangsa dalam membentuk serta membekali anak didik. Sekolah Kristen pada dasarnya merupakan wakil keluarga dan wakil gereja dalam memperlengkapi anak didik. Guru dan staf administrasi dengan begitu harus bertumbuh dalam sikap kebapaan atau keibuan sebagaimana yang diteladankan oleh rasul Paulus dalam pembinaan jemaat di Tesalonika. Sebagai ibu, para guru memelihara dan merawat anak didiknya dan sebagai bapa, mereka menasehati dengan bijak (I Tes. 1:7,11).
Terkait dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial, Allah sendiri membagun keluarga sebagai konteks sosial pertumbuhan anak (fungsi sosialisasi). Dia menciptakan umat, masyarakat dan bangsa untuk pertumbuhan individu dan kelompok. Dia pun menjadikan gereja sebagai wadah pertumbuhan individu dalam berbagai aspek. Komunitas dalam jemaat terpanggil untuk saling melengkapi, saling menasehati, saling mengajari (Kol. 3:15-16). Dinasehatkan pula oleh Alkitab agar orang percaya tidak menjauhi pertemuan-pertemuan dengan sesamanya demi pertumbuhan spiritualitasnya (Ibr. 10:24-25).
Dengan demikian seorang guru Kristen tidak boleh hanya membatasi hubungan dirinya hanya dalam kelas, ketika dia mengajar. Dia juga harus terlibat secara langsung dalam kehidupan berjemaat dalam sebuah gereja lokal. Dia juga harus menjadi bagian dari dinamika hidup yang relasional dalam tubuh Kristus yang semestinya diwarnai oleh kasih dan keakraban hubungan. Maksudnya, jika orang-orang yang berinteraksi dalam jemaat didorong oleh kasih yang tulus, mereka akan bersedia membina hubungan yang akrab. Dalam relasi demikian, banyak perkara iman dapat dipelajari. Dengan begitu, pendidikan Kristen harus memberi perhatian terhadap jemaat sebagai tubuh Kristus. Guru Kristen perlu terlibat dalam pelayanan jemaat. Ia dituntut untuk melibatkan diri dalam relasi antar pribadi. Sebagai pribadi ia terpanggil untuk terlibat dalam sharing, kunjungan jemaat, dan dalam pertemuan-pertemuan tertentu. Ia mengupayakan pembinaan orang-orang percaya yang selanjutnya dapat melaksanakan tugas pemuridan dengan kerelaan melayani sebagai hamba dan kesediaan memberi diri sebagai “model” atau teladan. Dengan demikian, pendidikan Kristen harus mengupayakan pemuridan lewat identifikasi, yakni saling mengamati gaya hidup sesama dalam artian positif, bukan hanya berupa pengajaran di kelas sekolah secara formal.
DAFTAR PUSTAKA:
Gangel, Kenneth O; Hendricks, Howard. The Christian Educator’s Handbook on Teaching, Victor Books, 1988. Sidjabat, B.S. Strategi Pendidikan Kristen. Yogyakarta: ANDI, 1994. ________. Menjadi Guru Profesional: Sebuah Persfektif Kristiani, Bandung : Kalam Hidup, 1994. Mulyasa, E. Standaar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Yamin, Martinis. Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia. Jakarta: Gaung Persada, 2006.dahMulmungkkoeratif
Sumber : http://www.stt-kharisma.org/index.php?option=com_content&view=article&id=19:kompetensi-sosial-guru&catid=5:artikel-pendidikan&Itemid=16
0 comments:
Posting Komentar