Gerakan Peduli Pendidikan Karakter (GPPK)
“Peran Guru dalam Memberantas Korupsi, Kemiskinan, dan Kekerasan Pelajar Indonesia Melalui Gerakan Peduli Pendidikan karakter ( GPPK )”
Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia cerdas yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Tapi mengapa pada era atau pada jaman imperialisme budaya saat ini, tingkat kriminalitas anak-anak dan remaja sangat tinggi dan jumlah mereka yang masuk penjara lebih dari satu juta orang (Harry Hikmat, Direktur Anak Depsos, Waspada, 11 Maret 2009). Mengapa pula banyak anak remaja kita tidak merasa bersalah jika berbohong, rendah rasa hormat kepada ortu dan guru, pecandu narkoba dan minuman keras, sering bolos sekolah, tidak mengerjakan PR, memalak teman sekelas dan sebagainya. Dan lebih jauh lagi mengapa pendidikan yang kini tumbuh berkembang dengan pesat, justru berefek melahirkan banyaknya koruptor. Memang tidak semua koruptor, tetapi mereka-mereka para pelaku korupsi justru orang-orang yang pada umumnya sudah menyandang berbagai gelar pendidikan.
Hal tersebut terjadi dikarenakan selama anak – anak dan remaja semasa mereka belajar di bangku sekolah masing – masing terlupakan akan pendidikan budi pekerti atau yang di sebut dengan pendidikan karakter.
Secara umum pendidikan karakter memang belum menjadi proritas utama dalam pembangunan bangsa dan belum diterapkan secara holistik dalam kurikulum Pendidikan Nasional. Namun dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru-guru memiliki peluang besar untuk menerapkan pendidikan karakter ke dalam masing-masing satuan pendidikan. Dalam glosarium (Puskur 2006) pengertian KTSP didefinisikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Salah satu prinsip pengembangan KTSP di antaranya kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Konsep pendidikan karakter terbaca dalam rumusan yang telah dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yaitu : Pendidikan yang mengintegrasikan semua potensi anak didik, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Terdapat ungkapan kurang lebih begini: jika anak hidup dengan saling pengertian, ia belajar menjadi sabar. Jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak hidup dengan pujian, ia belajar menghargai, dan seterusnya. Ungkapan ini jelas merupakan refleksi tentang proses seorang anak dengan apa yang mengitarinya. Anak yang besar dengan saling pengertian, maka ia akan belajar menjadi sabar. Demikian pula, anak yang dibesarkan dengan cacian, ia akan belajar mencaci, dan anak yang dibesarkan dengan kekerasan, ia akan belajar memperlakukan orang lain dengan keras. Juga anak yang dibesarkan dengan dendam, maka ia akan menganggap semua orang adalah musuhnya.
Ungkapan tersebut bukan hanya sekedar pepatah yang apa adanya, tetapi memiliki kebenaran faktual yang tidak bisa disangsikan, karena anak pada hakekatnya merupakan masa-masa pembentukan karakter. Anak bagaikan pohon kecil yang sangat mudah untuk dibentuk dan dimodel. Kondisi lingkungan pada masa anak-anak, secara langsung ataupun tidak, akan membentuk karakter seorang anak itu sendiri, setelah menginjak remaja, dewasa dan tua, masa kanak-kanak adalah proses pembentukan bagaimana anak setelah dewasa, sesuai dengan ungkaan di atas.
Dalam kerangka ini, masa kanak-kanak bisa dijadikan sebagai momentum untuk mengarahkan dan membentuk karakter seorang anak dengan maksimal. Anak yang dibesarkan dengan rasa cinta terhadap kebudayaan lokal, jelas setelah ia besar nantinya akan belajar memelihara dan memberdayakan kebudayaan lokal tersebut atas dasar cinta dan komitmen sebagai generasi penerusnya. Demikian pula halnya dengan anak yang dibesarkan dengan melupakan kebudayaan dan kearifan lokal, maka ia akan meninggalkan dan membiarkannya tanpa rasa besalah, sehingga kebudayaan lokal yang seyogyanya tetap bertahan dalam jiwa generasi-generasi yang dilahirkan tidak lagi mem punyai rasa memiliki dan rasa cinta terhadap kebudayaan lokal yang telah diwariskan oleh sejarah.
Akibatnya, kebudayaan lokal di tangan mereka hanya menjadi sesuatu yang terkenang, bukan menjadi sesuatu yang wajib dipertahankan, karena kita tidak memiliki kesadaran penuh betapa pentingnya pendidikan cinta kebudayaan lokal pada masa kanak-kanak. Oleh sebab itu untuk mengantisipasi lahirnya generasi-generasi yang demikian, perlu adanya kesadaran bersama untuk memberikan pendidikan cinta kebudayaan lokal sejak dini. Anak-anak harus diberikan pendidikan yang total akan makna penting menjaga segala bentuk kearifan lokal yang baik. Anak-anak harus dibesarkan dengan satu capaian mulia bagaimana menjadikan kebudayaan lokal sebagai sesuatu yang harus dicintai, sehingga akan mampu membentuk karakter anak yang siap memelihara, mempertahankan dan mengembang kan kebudayaan lokal dengan bijaksana. Pendidikan semacam ini yang semestinya harus digalakkan terhadap anak-anak, khususnya di Indonesia saat ini, sehingga kebudayaan Bangsa Indonesia yang beragam dan penuh ajaran nilai dan moralitas hidup, akan tetap bertahan. Sebab mempertahankan kebudayaan yang paling penting adalah menanamkan cinta kebudayaan di hati setiap generasi, maka ancaman apapun yang datang untuk menghancurkan kebudayaan lokal yang ada, tidak akan pernah terjadi.
Karakter kebudayaan anak-anak harus dibentuk dan dibangun sejak dini, sehingga sekeras apapun perubahan zaman dan dimana anak-anak tersebut menginjakkan kakinya, tetap tidak akan menghilangkan jati dirinya sebagai pewaris kebudayaan lokal. Karena dalam jiwa mere ka, kebudayaan lokal telah tertanam sangat kuat dan tidak bias dipisahkan. Untuk itulah, kebudayaan lokal Bangsa Indonesia, sampai kapanpun tidak akan pernah menghilang dari kehidupan orang-orang Indonesia, walaupun sampai seribu generasi sekalipun, apabila para orang tua dan sesepuh kita mampu memahami makna penting regenerasi kebudayaan melalui pembumian kebudayaan dalam jiwa anak-anak mereka.
Pendidikan cinta kebudayaan, harus menjadi komitmen kita bersama untuk ditanamkan sejak dini terhadap anak-anak kita, sehingga mereka nantinya akan tumbuh menjadi generasi generasi yang memiliki kecintaan lokal terhadap kebudayaan lokal. Barulah mengharapkan kebudayaan tetap bertahan dalam sepanjang masa akan terbukti.
Kongkritnya, yang menjadi tugas kita semua saat ini adalah jangan pernah menyepelekan keberadaan anak sebagai pewaris kebudayaan. Kebudayaan lokal harus tetap bertahan dalam relung jiwa mereka, karena matinya kebudayaan lokal sangat tergantung pada rapuhnya kecintaan anak terhadap kebudayaannya sendiri.
Jika kita ingin agar program pendidikan karakter (kepribadian, akhlak mulia) berjalan dengan baik dan efektif dibutuhkan guru-guru kreatif yang dapat menerapkan konsep pendidikan karakter tersebut dalam proses belajar mengajar secara holistik melalui pendekatan, metode dan strategi yang tepat.
Karena nilai-nilai akhlak mulia harus menjadi watak / karakter yang tumbuh menjadi identitas seseorang dalam bersikap dan bertindak maka dibutuhkan proses internalisasi nilai-nilai, untuk itu diperlukan pembiasaan diri agar masuk ke dalam hati sendiri sehingga bertumbuh dari dalam. Gerakan tersebut dapat dianalogikan dengan “kembali ke rumah”. Hati manusia itu bagaikan rumah (home). Maka sungguh penting kita kembali ke rumah sebagai pusat dan sumber energi segala aktivitas. Hanya dengan kondisi seperti itu pendidikan akan berhasil mematangkan dan mengokohkan karakter-karakter dasar.
Selain itu, kita harus memiliki parameter untuk mengukur berhasil tidaknya sebuah program pendidikan karakter. Yang dinilai dalam pendidikan karakter, terutama adalah perilaku bukan pemahaman. Karakter bangsa sangat tergantung pada kualitas karakter sumberdaya manusianya (SDM). Karenanya karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Erikson, 1968). Thomas Lickona - seorang profesor pendidikan dari Cortland University - mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran.
Tanda-tanda yang dimaksud adalah :
1. meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,
2. penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk,
3. pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan,
4. meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas.
5. semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,
6. menurunnya etos kerja,
7. semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,
8. rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan
9. adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman tersebut sudah ada di Indonesia.
Selain sepuluh tanda-tanda jaman tersebut, masalah lain yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.
Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik di usia prasekolah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan.
Menurut Berkowitz (1998), kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai-nilai karakter (valuing). Misalnya seseorang yang terbiasa berkata jujur karena takut mendapatkan hukuman, maka bisa saja orang ini tidak mengerti tingginya nilai moral dari kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan juga aspek emosi. Menurut Lickona (1991), komponen ini adalah disebut “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat baik. Lantas bagaimana mendidik karakter anak? Yaitu dengan menciptakan lingkungan yang kondusif. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi berkarakter jika dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu peran keluarga, sekolah, dan komunitas amat menentukan.
Wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak adalah keluarga. Tentu setiap orang tua tidak ingin buah hatinya yang imut, lucu, dan gemesin itu kelak menjadi penjahat, kan? Penjudi, pezinah, pengguna narkoba, preman, teroris dan lain-lain yang jauh dari ridha Allah? Na’udzubillah min dzaalik. Kita tentu ingin anak-anak kita tumbuh menjadi anak yang shalih/shalihah, menginjak remaja kreatif dan berahklak mulia. Begitu dewasa menjadi anutan masyarakat. Dalam pelukan, buaian, perawatan, pengasuhan orang tua terutama seorang ibu yang mengerti akan pentingnya pendidikan karakter, maka sejak usia dini pendidikan karakter sudah harus dimulai.
Mengapa harus dilakukan sejak usia dini? Menurut Thomas Lichona, (Megawangi,2003), Anak balita masih kosong pengalaman. Jika ia melihat sesuatu langsung dimasukkan tanpa dipilih-pilih. Itu bisa terjadi karena dalam benak balita belum ada “program” penyaring. Nah, materi yang pertama masuk otak anak akan berfungsi sebagai penyaring. Karena itu orang tua yang terlambat mengisi pendidikan yang baik pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi dengan hal yang buruk oleh pihak lain. Orang tua yang jarang berinteraksi dengan anak pada usia ini, berhati-hatilah.
Bagaimana peran orang tua? Orang tua harus berupaya menjadikan dirinya role model untuk membangun kepercayaan anak. Pendidikan karakter tidak cukup dengan kata-kata, ia perlu contoh riil dari orang tua, pendalaman terhadap contoh-contoh tersebut dengan penjelasan-penjelasan dan refleksi tindakan anak, serta membangun sebuah lingkungan yang memastikan anak mudah untuk melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh: Orang tua yang hangat dan penuh perhatian akan menjadi model bagi anak bagaimana seharusnya memperlakukan orang lain.
Selain itu orang tua harus mengupayakan komunikasi dengan anak secara menyenangkan, tidak hanya memerintah, mengkritik dan membentak bentak. Dalam berkomunikasi, orang tua hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak menyela pembicaraan, mengganti pernyataan dengan pertanyaan, berempati terhadap anak dan masalahnya, tidak berkomentar sebelum diminta. Kalaupun komentar gunakan komentar yang menyenangkan. Gunakan pujian untuk perilaku atau perubahan perilaku yang baik. Orang tua yang hangat dan penuh cinta dan perhatian akan memacu perkembangan moral anak menuju tahapan yang lebih tinggi.
Untuk mendampingi sang anak yang tengah dalam pertumbuhan, para orang tua harus berupaya menjadi ”konsultan pribadi“ mereka. Jangan menghakimi dan mengungkit-ungkit kesalahan, tidak menggunakan amarah. Sebab marah tidak pernah menyelesaikan masalah dengan baik. Anak yang mendapatkan cinta dan perhatian hangat dari orang tuanya akan merasa bahwa dirinya berharga, yang selanjutnya akan membuatnya percaya diri. Anak yang percaya diri akan mudah berteman dan tidak mudah terpengaruh hal-hal yang negatif.
Pola asuh orang tua juga menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak dalam keluarga. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologi (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat dan penanaman nilai-nilai akhlak mulia.
Secara umum ada 3 kategori pola asuh, yaitu 1) pola asuh otoriter, mempunyai ciri orang tua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh dan tidak boleh bertanya 2) pola asuh demokratis, mempunyai ciri orang tua mendorong anak untuk membicarakan apa yang diinginkan, dan 3) pola asuh permisif mempunyai ciri orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Yang terbaik adalah pola asuh demokratis: ada kerja sama antara orang tua dan anak, anak diakui sebagai pribadi, ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua dan ada kontrol dari orang tua yang tidak kaku.
Selain itu, yang tidak boleh diabaikan adalah kerja sama dengan sekolah. Pilihlah sekolah yang memprioritaskan pendidikan karakter bagi siswanya. Jalinlah Komunikasi yang efektif dan berkesinambungan antara sekolah dan orang tua, karena hal itu merupakan kunci sukes pendidikan karakter. Guru sangat membutuhkan informasi tentang kebiasaan/perilaku, kemandirian pelaksanaan ibadah anak di rumah. Dengan informasi ini, guru dapat menindak lanjutinya di sekolah. Ada beberapa anak yang mempunyai perangai santun, di sekolah tapi di rumah perangainya berubah sama sekali atau sebaliknya. Kondisi seperti inilah yang dapat ditindak lanjuti guru untuk dilakukan perbaikan dan dialog antara guru dan orang tua.
Dengan demikian untuk menggapai impian indah tentang buah hati itu yang memiliki karakter baik ternyata dibutuhkan orang tua yang peduli pendidikan karakter. Apabila orang tua gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik dan kemampuan-kemampuan dasar, dan tidak peduli serta tidak mau bekerja sama dengan pihak sekolah maka akan sulit sekali untuk memperbaikinya. Oleh karena itu sebelum terlambat, orang tua bekerja sama dengan sekolah harus gigih menanamkan nilai-nilai kebaikan, hingga menjadi karakter anak sebelum sifat-sifat buruk terlanjur menjadi berkarat.
Terakhir jangan berhenti berdoa, agar impian memiliki buah hati yang cerdas akal (IQ) dan cerdas spiritual/emosional (SQ/EQ) bisa terwujud.
Sejujurnya upaya untuk mengembangkan sistem pendidikan karakter terhalang pada sebuah kenyataan bahwa aspek pengetahuan lebih dimungkinkan untuk diukur secara obyektif. Pengukuran terhadap sikap serta perilaku lebih sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu dibutuhkan guru yang cerdas, kreatif, memiliki integritas dan komitmen yang tinggi.
Mengajar atau “teaching” adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekpresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar (Joyce dan Well, 1996). Pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Secara implisit dalam pengertian ini terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode ini didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada. Kegiatan-kegiatan ini pada dasarnya merupakan inti dari perencanaan pembelajaran.
Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakekat perencanaan atau perancangan (disain) sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam belajar, siswa tidak berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang mungkin dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu pembelajaran menaruh perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa”, dan bukan pada “äpa yang dipelajari siswa”.
Dengan demikian perlu diperhatikan adalah bagaimana cara mengorganisasi pembelajaran, bagaimana cara menyampaikan isi pembelajaran, dan bagaimana menata interaksi antara sumber-sumber belajar yang ada agar dapat berfungsi secara optimal. Pembelajaran perlu direncanakan dan dirancang secara optimal agar dapat memenuhi harapan dan tujuan.
Rancangan Pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Pembelajaran diselenggarakan dengan pengalaman nyata dan lingkungan otentik, karena hal ini diperlukan untuk memungkinkan seseorang berproses dalam belajar (belajar untuk memahami, belajar untuk berkarya, dan melakukan kegiatan nyata) secara maksimal.
b. Isi pembelajaran harus didesain agar relevan dengan karakteristik siswa karena pembelajaran difungsikan sebagai mekanisme adaptif dalam proses konstruksi, dekonstruksi dan rekonstruksi pengetahuan, sikap, dan kemampuan.
c. Menyediakan media dan sumber belajar yang dibutuhkan. Ketersediaan media dan sumber belajar yang memungkinkan siswa memperoleh pengalaman belajar secara konkrit, luas, dan mendalam, adalah hal yang perlu diupayakan oleh guru yang profesional dan peduli terhadap keberhasilan belajar siswanya.
d. Penilaian hasil belajar terhadap siswa dilakukan secara formatif sebagai diagnosis untuk menyediakan pengalaman belajar secara berkesinambungan dan dalam bingkai belajar sepanjang hayat (life long contiuning education).
Pembelajaran efektif adalah pembelajaran dimana siswa memperoleh keterampilan-keterampilan yang spesifik, pengetahuan dan sikap serta merupakan pembelajaran yang disenangi siswa. Intinya bahwa pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi perubahan-perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor (Reiser Robert, 1996).
a. Ciri-ciri pembelajaran efektif :
o Aktif bukan pasif
o Kovert bukan overt
o Kompleks bukan sederhana
o Dipengaruhi perbedaan individual siswa
o Dipengaruhi oleh berbagai konteks belajar
b. Kriteria :
o Kecermatan penguasaan
o Kecepatan unjuk kerja
o Tingkat alih belajar
o Tingkat retensi (Reigeluth & Merril, 1989)
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Landasan filosofi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak siswa sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proporsi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Siswa perlu menyadari bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan demikian siswa memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya ini, siswa memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuan belajar. Oleh karena itu guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (pengetahuan, keterampilan) datang dari menemukan sendiri, bukan dari apa kata guru.
Pembelajaran kontekstual merupakan salah satu dari sekian banyak model pembelajaran, pembelajaran kontekstual dikembangkan dengan tujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks lainnya.
Pola pembelajaran kontekstual berbeda dengan pembelajaran konvensional yang selama ini dikenal. Perbedaan tersebut tergambar dalam tabel berikut.
Pembelajaran Konvensional
· Menyandarkan pada hafalan
· Pemilihan informasi ditentukan oleh guru
· Cenderung terfokus pada satu bidang tertentu
· Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan
· Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian ulangan
Pembelajaran Kontektual
· Menyandarkan pada memori spasial
· Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan individu siswa
· Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang
· Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa
· Menerapkan penilaian auntentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/
0 comments:
Posting Komentar