SNBI: Konsep Pendidikan Kerakyatan, Berspirit Kebangsaan
Prof. Rupert. C. Lodge : "Pendidikan adalah kehidupan dan kehidupan adalah pendidikan". Saat ini, ada tiga konsep pendidikan di Indonesia: Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI), dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Ketiganya tampak mirip sekali, namun sebenarnya ada perbedaan antara SBI dan SNBI, yang kemudian keberadaan RSBI juga perlu dievaluasi. Label “bertaraf Internasional” yang ada pada lembaga pendidikan, lahir sebagai tuntutan dari perkembangan global. Hubungan antara negara semakin kompetitif. Dunia juga menjadi semakin “sempit” dengan pesatnya tekhnologi informasi. Sehingga dunia kerap disebuat sebagai global village, untuk menunjukkan semakin tingginya kompetisi dan semakin cepatnya akses informasi bisa didapat.
Konsekuensi dari kondisi ini adalah semakin tingginya tuntutan pada Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Perubahan terjadi bagitu pesat dan perkembangan berjalan demikian cepat. Hanya kualitas SDM yang memadai yang bisa menunjukkan peran dan kontribusinya. Kualitas SDM yang mumpuni menjadi harga mati, atau jika tidak: sebuah bangsa dan negara akan tertinggal jauh oleh yang lainnya. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi salah satu aspek yang difokuskan berbagai negara. Karena IPM menjadi salah satu indikator penting dalam mengukur kualitas SDM sebuah negara. Fokus pembangunan tidak lagi pada dimensi fisik, tapi kognitif. Yang dipacu adalah kuantitas dan kualitas SDM yang mampu berkreasi dan berinovasi. Dahulu, yang menjadi fokus utama adalah pembangunan fisik itu sendiri. Sedangka manusianya hanya diposisikan sebagai objek pembangunan.
Kini, dalam dunia yang semakin mengglobal, logikanya dibalik: manusia adalah subjek pembangunan. Sukses atau tidaknya sebuah pembangunan ditentukan oleh manusianya. Pendidikan Ketika peningkatan kualitas dan kuantitas SDM menjadi fokus utama, maka pembicaraan selanjutnya mengarah pendidikan. Sebab pendidikan adalah elemen yang menentukan seberapa berkualitas SDM sebuah negara. Jika negara diibaratkan sebagai sebuah tubuh. Maka pendidikan adalah pusat saraf yang menggerakkan seluruh bagian tubuh tersebut. Sementara seluruh organ di tubuh tersebut, adalah dimensi-dimensi kebangsaan itu sendiri: ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.
Gerak sebuah negara ditentukan oleh kendali pusat sarafnya. Lamban atau cepatnya gerakan tubuh tersebut, tergantung pada bagaimana pusat sarafnya bekerja. Keberhasilan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan sangat ditentukan oleh kualitas SDM-SDM yang menjalankan bidang-bidang tersebut. Dan kualitas SDM bergantung pada sistem pendidikan yang ada di sebuah negara. Jadi, pendidikan adalah pusat saraf yang menentukan sleuruh elemen kebangsaan dan kenegaraan.
Pentingnya pendidikan di sebuah negara inilah yang kemudian menentukan gerak kemajuan negara tersebut. Dengan melihat konsep dan kondisi pendidikan sebuah negara, sebenarnya bisa diprediksikan masa depan kiprah dan kontribusi negara tersebut. Sebab kemajuan perpolitikan, perekonomian, dan kebudayaan sebuah negara ditentukan oleh bagaimana kondisi dan kualitas pendidikannya.
Pertanyaan selanjutnya: bagaimana konsep pendidikan yang baik? Pendidikan yang baik adalah yang berhasil meracik antara sisi globalitas dengan lokalitas. Yang berhasil memadukan antara nilai-nilai lokal keindonesiaan dengan aspek internasionalisme. Globalisasi menuntut lahirnya generasi yang bisa menjawab tantangan zaman. Generasi yang bisa “berbicara” dengan, dan pada level, Internasional. Namun pada saat yang sama, paradigma Internasional harus diimbangi dan diperkuat dengan spirit nasionalisme. Sebab globalisasi, selain memiliki berbagai sisi positif, juga mengandung aspek negatif. Spirit nasionalisme inilah yang akan menjadi batu karang yang menepis sisi negatif dari globalisasi. Tanpa dibekali nasionalisme yang kuat, sebuah generasi akan larut dalam pusaran globalisasi. Mereka melihat globalisasi dengan mata silau, sehingga akan memincingkan mata ketika melihat negerinya sendiri. Padahal, inti dari globalisasi adalah bagaimana cara kita mengkomunikasi, memperkenalkan, dan mensinergikan nilai-nilai lokal dan spirit kebangsaan kita dengan nilai lokal dan spirit kebangsaan negara lain.
Globalisasi adalah pentas yang mempertemukan berbagai ragam nilai lokalitas dan spirit kebangsaan, untuk menemukan “irisannya”. Tentu, ada bagian-bagian tertentu yang tetap menjadi ciri khas masing-masing negara dan itu berbeda. Globalisasi, jika kita benar-benar mendudukkan pengertiannya, akan memberikan penghargaan setinggi-tingginya pada perbedaan dan sinergi sebesar-besarnya pada persamaan. Inilah substansi globalisasi. Namun, ada salah kaprah dalam memahami konsep globalisasi. Atau jika tidak disebut salah kaprah, beberapa pihak membangun paradigma yang salah tentang makna globalisasi. Kesalahan ini tentu bukan tidak disengaja. Ada motif-motif untuk mendominasi dan menghegemoni dibalik pembangunan pengertian yang seperti itu tentang globalisasi. Tapi pembahasan soal ini akan masuk pada ranah yang lain. Kita kembali pada pembahasan soal pendidikan.
Jadi, sampai disini kita sudah menemukan satu keyword tentang ciri-ciri pendidikan yang baik. Yaitu, pendidikan yang memadukan antara nilai lokalitas dan spirit kebangsaan dengan nilai Internasional dan spirit globalitas. Tujuan pendidikan adalah mengantarkan siswa mencapai “irisan”, sebagaimana dijelaskan diatas. Itulah target utama pendidikan. Dengan kata lain, konsep pendidikan yang salah adalah yang terjebak pada satu sisi, dengan mengabaikan sisi lainnya. Yaitu pendidikan yang hanya membekali para siswa dengan spirit nasionalisme dan nilai lokal, namun mereka gagap saat berada di level internasional dan global. Pendidikan model seperti ini akan melahirkan generasi yang mengidap gejala “waham”: merasa besar dikandang sendiri, padahal belum teruji di dunia luar. Ini model pendidikan yang tidak tepat. Model pendidikan lainnya yang juga kurang tepat adalah yang sebaliknya dari yang diatas, yaitu: pendidikan “membawa terbang siswa ke langit internasional dan cakrawala global, namun lupa pada kampung halaman dan tanah airnya.” Pendidikan model ini sepintas seperti berhasil menciptakan generasi emas yang kompetitif pada tingkat global. Generas-generasi yang sukses mengukir berbagai prestasi pada ajang Internasional. Namun, jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya ada yang hilang dalam diri generasi tersebut: spirit kebangsaan dan nilai lokalitas. Generasi ini menjadi “generasi mengambang”: tidak memiliki prinsip nasionalisme, hanya diombang-ambingkan oleh pragmatisme globalisasi.
Dalam dunia pendidikan Indonesia, kita dapat melihat dua model pendidikan diatas. Kita juga bisa melihat generasi-generasi yang lahir dari dua model pendidikan tersebut. SBI, RSBI, atau SNBI Munculnya sekolah dengan label “bertaraf Internasional”, lahir dari kesadaran tentang pentingnya membangun generasi yang memiliki kualitas Internasional. Munculnya semangat untuk membangun sekolah yang memiliki taraf internasional muncul minimal sejak 10 tahun yang lalu. Saat itu, dunia pendidikan Indonesia memang tidak memiliki catatan yang cemerlang dalam melahirkan generasi berprestasi Internasional. Kita masih kalah dibandingkan beberapa negara lain di kawasan Asia. Maka muncul pemikiran untuk mengejar ketertinggalan itu dengan membentuk sekolah bertaraf Internasional. Asumsinya, sekolah Internasil akan melahirkan generasi berwawasan dan berprestasi Internasional juga. Kehadiran sekolah bertaraf Internasional ini menjadi “antitesa” dari pendidikan nasional yang dianggap tidak mampu melahirkan generasi berdaya saing global.
Pada titik ini terjadi keselahpahaman. Banyak sekolah bertaraf Internasional yang tampil sebagai “antitesa” dari sekolah nasional. Yaitu dengan memposisikan dirinya sebagai sekolah yang lebih berkualitas dari sekolah bertaraf nasional. Akibatnya, konsep pendidikan seperti ini melahirkan efek negatif yang sudah bisa diprediksi. Yaitu lahirnya anak didik yang memiliki kualitas wawasan dan prestasi Internasional, namun kering spirit nasionalisme dan hampa pengetahuan lokal Indonesia. Tidak sedikit dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang berkembang di Indonesia memiliki konsep seperti ini. Tentu kesalahan cara pandang seperti itu harus diluruskan.
Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) harus dikembalikan pada jalurnya yang benar. Bahwa SBI bukanlah antitesa dari sekolah nasional melainkan sebagai sintesa. Target utamanya adalah melahirkan anak didik yang berbekal spirit nasional dan berbudaya lokal, namun memiliki daya saing internasional dan paradigma global. Dalam konteks seperti ini, internasionalisme dan nasionalisme tidak dihadap-hadapkan, tapi disinergikan. Untuk menjadi generasi yang memiliki prestasi internasional, seorang anak didik tidak harus menanggalan jati diri nasionalnya. Dan sebagai generasi yang memegang teguh nilai lokal, bukan berarti mereka gagap pada level global. Jadi, kembali pada apa yang dipaparkan diatas, SBI adalah pendidikan yang mengantarkan anak didik mencapai “irisan” hasil perpaduan antara globalisasi dan nasionalisme. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman sebagaimana dipaparkan diatas, maka konsep SBI diganti dengan SNBI (Sekolah Nasional Bertaraf Internasional).
Dengan kata lain, SNBI adalah SBI yang berada pada jalur yang benar. Sebenarnya istilah SNBI, secara terminologi, lebih tepat ketimbang istilah SBI itu sendiri. Karena pada istilah SBI terkesan ada sikap inferior nasionalisme dihadapan globalisasi. SNBI adalah konsep yang mencoba memadu-madankan nilai lokal dan spirit nasional dengan wawasan global dan prestasi internasional. Anak didik yang lahir dari konsep pendidikan SNBi tidak silau pada globalisasi, tidak juga melihat sebelah mata negeri mereka sendiri. Mereka adalah anak-anak yang tetap menjaga jati dirinya sebagai anak Indonesia. Dan pada level internasional, mereka juga mendapat tempat yang terhormat. Akhirnya, kita harus meluruskan kesalahpahaman tentang sekolah bertaraf internasional. Bahwa SBI yang benar adalah SNBI. Sedangkan yang salah adalah yang menanggalkan spirit nasionalismenya. Saat ini, pemerintah telah menjalankan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Program tersebut penting dan perlu didukung, jika SBI yang dimaksud disana sama dengan konsep SNBI. Sebaliknya, jika RSBI mengarah pada konsep pada SBI yang minus spirit nasionalisme, maka program tersebut sama sekali tidak tepat. Kita berharap program RSBI pada akhirnya bisa mencapai target yang diinginkan: dari tahap rintisan naik ke level menjadi SNBI. Sehingga dunia pendidikan kita pada akhirnya akan melahirkan generasi yang tidak hanya berwawasan global dan berdayasaing internasional, tapi juga teguh spirit nasionalismenya dan kuat nilai-nilai lokalnya.
Sebagaimana dikatakan Prof. Rupert. C. Lodge di awal tulisan ini: “Pendidikan adalah kehidupan dan kehidupan adalah pendidikan.” Maka pendidikan Indonesia haruslah memiliki fungsi, manfaat, dan spirit bagi kehidupan bangsa Indonesia. Bukan justru sebaliknya, pendidikan Indonesia justru menjauhkan generasi Indonesia dari kehidupan mereka, yaitu Indonesia.
Sumber : http://www.2mindshare.com/terkini/snbi-konsep-pendidikan-kerakyatan-berspirit-kebangsaan
0 comments:
Posting Komentar